Sudah hampir
seminggu ini berita di televisi menyoroti peristiwa hilangnya pesawat
AirAsia yang terbang dari Surabaya menuju Singapura. Hingga postingan
ini saya tulis, sudah bisa dipastikan pesawat dengan nomor
penerbangan QZ8501 itu mengalami kecelakaan dan jatuh di perairan
selat Karimata. Hingga kini Tim Basarnas yang telah dibantu juga oleh
tim-tim SAR dan kapal-kapal dari luar negeri terus berjuang keras
mencari tubuh-tubuh korban yang menumpangi pesawat naas itu. Sampai
saat postingan ini saya tulis, kabarnya sudah ada 37 jenazah yang
ditemukan dari total 161 penumpang termasuk kru pesawat.
Berita mengenai
pesawat terbang ini mengingatkan saya kembali pada peristiwa tahun
1986. Tahun itu adalah tahun dimana saya pertama kali bisa naik
pesawat terbang. Saya baru menginjak kelas 3 SD ketika Papa
dipindahtugaskan ke Jakarta. Awalnya, Papa berangkat sendirian ke
Jakarta. Sekitar sebulan kemudian, barulah saya ikut ke Jakarta. Saya
berangkat bersama Mama ditemani seorang adik ipar Papa. Tentu saja,
kami berangkat naik pesawat terbang.
Pertama kali naik
pesawat terbang merupakan pengalaman yang tidak akan pernah saya
lupakan seumur hidup. Naik pesawat terbang merupakan peristiwa yang
tidak bisa dinikmati sembarang orang ketika itu. Rasanya bangga dan
senang luar biasa, sukar diungkapkan dengan kata-kata.
Saya ingat, kami
naik pesawat Garuda ketika itu. Kami berangkat dengan pesawat pagi,
saya sudah lupa jamnya. Yang membuat saya senang sekali adalah karena
Mama memberi saya kesempatan duduk dekat jendela. Dari jendela saya
bisa melihat sayap pesawat agak di belakang kami. Rasa deg-degan saya
rasakan ketika pesawat akan tinggal landas. Pramugari mengumumkan
supaya kami duduk dan mengencangkan ikat pinggang. Mama membantu saya
memasang ikat pinggang. Ketika pesawat melaju dengan kecepatan tinggi
dan mulai naik, ada rasa senang bercampur bangga, kuatir, sedih,
bahkan takut. Bagaimana pun, ini adalah pengalaman pertama saya naik
pesawat.
Tak lama setelah
tinggal landas, untuk pertama kalinya saya bisa melihat kota Manado
dari atas. Dari balik jendela pesawat saya menyaksikan pemandangan
kota Manado dari udara – yang ternyata masih banyak sekali
daerah-daerah yang berwarna hijau. Semakin lama kota Manado terlihat
semakin mengecil dan tak lama kemudian hilang dari pandangan.
Pemandangan berganti dengan langit biru. Sesekali diselingi awan
tipis di kiri-kanan pesawat.
Cuaca cerah
menyertai penerbangan kami hari itu. Kalau penumpang lain bisa tidur
selama perjalanan sekitar tiga jam lebih itu, saya justru tidak mau
tidur. Sepanjang perjalanan, mata saya tidak lepas melihat
pemandangan di luar jendela pesawat. Kadang saya bisa melihat laut
biru di bawah pesawat. Kadang terlihat sepintas hamparan yang hijau.
Meski cuaca cerah,
sempat juga beberapa kali kami mengalami goncangan. Rasanya seperti
naik angkot melewati jalan yang tidak rata dan berlubang. Ternyata,
kami melewati gumpalan awan. Setiap kali kami mengalami goncangan,
pilot pesawat mengumumkan untuk tenang dan tetap memasang ikat
pinggang. Semuanya dalam kondisi yang aman dan terkendali. Beberapa
kali pula pilot menjelaskan posisi pesawat, keadaan cuaca, dan
ketinggian penerbangan.
Tak terasa, akhirnya
terdengar pengumuman dari pramugari bahwa pesawat tak lama lagi akan
mendarat. Di kejauhan saya sudah bisa mulai melihat kota Jakarta dari
udara. Ya, kota Jakarta! Lagi-lagi, perasaan senang dan gembira
melingkupi hati saya. Saya akan tinggal di Jakarta! Kota
metropolitan. Ibukota negara Indonesia. Kota yang selalu menjadi
impian anak-anak seusia saya. Dan saya bukan hanya akan menikmati
sehari-dua disini. Saya akan tinggal di kota ini, mungkin selama satu
atau dua tahun ke depan.
Proses pendaratan
pesawat cukup menegangkan bagi seorang yang baru kali itu naik
pesawat seperti saya. Apalagi, telinga saya terasa seperti agak tuli.
Belakangan saya tahu bahwa itu adalah efek perubahan tekanan udara.
Pendaratan berlangsung mulus dan kami tiba dengan selamat. Setelah
keluar dari pesawat, kami ternyata masih harus menunggu barang-barang
kami dulu. Saya terheran-heran melihat puluhan tas, koper, bahkan ada
juga kardus-kardus yang bergerak sendiri dari balik sebuah tirai
hitam. Rupanya itu adalah barang bawaan para penumpang pesawat. Para
penumpang yang satu pesawat dengan kami nampak sibuk memperhatikan
barang-barang yang berdatangan. Satu demi satu setiap penumpang mulai
mengambil tas dan barang bawaan masing-masing. Tak terkecuali Mama.
Begitu semua barang yang kami bawa sudah lengkap, Mama segera
mengajak saya keluar dari tempat itu.
Di luar, nampak Papa
sudah menanti dengan senyum dibibirnya. Setelah melepas rindu dengan
berpelukan, papa segera mengajak kami menuju hotel. Kami naik taksi
dari bandara menuju hotel. Dari dalam taksi mata saya tak pernah
lepas memandangi gedung-gedung yang tinggi menjulang. Baru kali itu
saya melihat gedung-gedung bertingkat setinggi itu.
Dalam hati saya
senang sekali. Beginilah rupanya Jakarta, kota metropolitan yang
selama ini hanya bisa saya lihat di televisi. Lalu lintas sangat
ramai. Sampai sekarang saya tidak tahu jalan apa yang kami lewati
selepas dari bandara itu. Saya tidak pernah bertanya, karena keasikan
memperhatikan segala sesuatu di sekeliling kami. Yang saya ingat,
jalan yang kami lewati itu sangat lebar. Satu jalur bisa dilewati
empat kendaraan sekaligus. Ada dua jalur yang dibatasi oleh pagar
besi yang tinggi. Setelah berputar-putar selama hampir satu jam,
akhirnya kami tiba di hotel. Hotel Borobudur.
Kami menginap
beberapa hari di hotel Borobudur dan kemudian pindah ke rumah kontrakan di
daerah Cilincing. Setahun saya tinggal di Jakarta, kemudian kembali ke Manado bersama Mama, tentu saja naik pesawat terbang lagi.
Dua kali naik pesawat terbang ketika masih kecil adalah pengalaman yang luar biasa buat saya. Soalnya, setelah itu saya tidak pernah lagi naik pesawat terbang hingga tahun 2005. Benar-benar pengalaman yang menyenangkan dan takkan terlupakan.
Bagaimana pengalaman saya setahun di Jakarta? Nanti deh saya cerita lagi di postingan lain. Ditunggu ya...:-D
0 komentar:
Posting Komentar