Angkot di Manado era 80an (sumber: tribunnews) |
“So mo pulang, Lan?”
“Iyo.”
“Sama-sama jo dang.”
Dari ucapannya, saya menangkap sinyal Nando hendak mengajak pulang naik angkot bersamanya. Saya dan Nando memang sekelas. Kami pun tinggal di kelurahan yang sama, hanya beda lingkungan. Kami sering pulang bareng. Adakalanya kami pulang jalan kaki bersama. Jarak dari sekolah ke rumah kami memang tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 1 kilometer saja. Pada jaman itu, pulang jalan kaki adalah hal yang biasa. Masih jarang orang yang punya motor, apalagi mobil. Adakalanya juga kami pulang naik angkot.
Ongkos angkot saat itu masih sangat murah dibandingkan sekarang. 100 rupiah. Jauh-dekat. Biasanya kalau kami pulang bareng naik angkot, kami akan duduk satu bangku berdua. Supaya bayarnya tetap cuma seratus saja. Biasanya kami bergantian saling membayar. Kalau sekarang saya yang membayar ongkos angkotnya, maka di lain waktu gantian Nando yang membayar.
Jaman itu - era 80an - model angkot tidak seperti sekarang. Di tahun 80an, angkot sebenarnya berasal dari mobil bak terbuka, paling banyak jenis Suzuki ST20. Bagian belakangnya diberi penutup dan ditaruh kursi. Mirip angkot untuk jalur luar kota yang ngetem di pasar Bersehati sekarang. Bedanya, angkot luar kota sekarang kursinya berhadapan, sementara angkot jaman dulu jumlah kursi di bagian belakang hanya enam dan semuanya menghadap ke depan. Jadi, total penumpang yang bisa dimuat hanya tujuh orang saja, 6 di belakang dan 1 di depan samping sopir.
Warnanya pun tidak seragam seperti sekarang. Terserah pemiliknya mau memberi warna apa pada angkotnya. Kemiripan angkot jaman 80an dan masa kini adalah pada musiknya. Sejak dulu, angkot di kota Manado sudah dikenal full music. Selain full music, bentuk angkot yang digemari adalah yang dikenal dengan nama “kaca bok.” Bagian belakang yang menutup bak terbuka dibentuk melengkung-lengkung. Kacanya pun jadi ikut melengkung alias "ba bok” dalam dialek Manado. Maka, kombinasi “kaca bok” dan full music menjadi paling digemari penumpang. Hingga saat ini, mungkin tinggal trayek Karombasan-Winangun dan Karombasan-Jl Siswa yang masih menyisakan angkot tahun 80an ini. Itupun yang tersisa bukan lagi yang kaca bok. Hanya kaca datar biasa, seperti foto yang saya kutip dari tribunnews diatas.
Tidak terlalu lama bagi saya dan Nando untuk menunggu angkot.
“Maso Torsina, Om?” tanya Nando.
”Nae jo,” jawab sang sopir.
Kami pun naik dan duduk sebangku berdua. Tidak ada penumpang lain di angkot yang kami tumpangi. Hanya kami berdua. Tidak sampai lima menit, angkot yang kami tumpangi sudah memasuki jalan Torsina. Di persimpangan dimana kami biasa turun dan berpisah, Nando menekan bel.
Angkot berhenti perlahan dan kami berdua turun. Aku menunggu Nando membayar. Tapi nampaknya Nando diam saja. Kami pun bertatapan.
“Bayar jo, Lan.”
“Ih, kita nda ada doi....”
“Yah, kita le nyanda ada doi....”
”Hah? Kong bagimana dang?”
“Bilang jo dang pa tu om, bilang torang nyanda ada doi.”
“Ngana jo yang bilang.”
“Ngana jo.”
Kami saling meyalahkan. Tidak ada yang mau mengaku salah.
Akhirnya, saya yang mengalah. Saya maju dan berbicara dengan sopirnya. Tak lama kemudian mobil pun melaju kencang meninggalkan debu di belakang kami.
“Ngana bilang apa?”
“Kita bilang no, “Om torang nyanda doi. Nanti ulang jo ne torang bayar.””
“Kong tu om bilang apa?”
“Tu om bilang, biar jo dang, mar lengkali priksa dulu kalo ada doi kalo mo nae oto.”
Duh, malunya! Benar-benar pengalaman tak terlupakan.
0 komentar:
Posting Komentar